lari, nyalakan unggun, mari bersulang

Labels:

"aku tinggal di sebuah tempat yang tampak sepi, dan melihat bagaimana ia merangsang pikiran kreatif"
-albert einstein

Ini hari kedua dan terakhir buat naomi menemani anak-anak alam, dan siang itu seperti hari-hari sebelumnya di bulan januari ini di belandingan, hujan akan turun.

Bulan-bulan ini adalah surga bagi para penduduk belandingan. Sebagai sebuah desa yang terletak di bebukitan dan tak memiliki sumber air, maka hujan adalah anugerah terindah. Penduduk desa bisa mulai bercocok tanam lagi di ladang, hingga bisa menanbung kala musim kering nanti datang.

Siang itu mendung tampak berarak, dan kabut tipis mulai turun menyelimuti belandingan. Kami ragu apakah siang itu kita akan pergi bersama Made Ratih ke ladangnya di batu barak seperti rencana semula, atau merubah rencana dengan bermain-main saja lagi di wantilan.

Anak-anak masih mengikuti kami ke wantilan. Ketika mereka tahu rencana kami akan pergi ke batu barak, mereka berebut ikut naik ke mobil, mencari tempat. Mereka berpikir barangkali saja mereka bakalan diajak.

"kak, bawa aja mobilnya ke atas, bisa kok,..bisa kok, nggak bohong kak..."
(kok perasaanku nggak enak… ;) )
“ah, kalian pasti bohong………….”
“nggak kak, mana mungkin kita bohong, apalagi ama kak putu….”
“mmmmm…. bagaimana kalau kita jalan kaki saja, kak putu pikir itu lebih baik, agar semua dari kalian bisa ikut”
Anak-anak masih ngeles: “kak, naik mobil aja.” Salah satu dari mereka nyeletuk “tumben saya naik mobil begini……”
Wah kalau sudah begini payah dah….
“oke deh kalau begitu, mari naik.”
“kita bawa mobil aja, nggak usah jalan kaki.”

Kami mengambil jalan menanjak di bubung tower yang terbuat dari plesteran semen. Aku sudah sering melewati jalan itu, tapi biasanya jalan kaki-bersama anak-anak. Dan kali ini aku pikir anak-anak itu benar, mobil ini sepertinya bisa naik hingga ke atas.

Tuh kan, firasatku benar aku sudah tahu. “anak-anak, kalian pembohong besaaaaaar…..”
anak-anak diam, semua takut kalau saja sampai aku ngambek dan marah.
namun ada Kerani ngeles, “lho kak, kan truk dan L300 biasa lewat sini. Sering kok bahkan.”
“argh….. kalian betul. Aku yang bodoh.. hehe….”
“ini mobil city car cuma 1.000 cc, bukan didesain untuk naik gunung….”
(Oke, ini berarti Anak Alam telah berhasil. Guru yang baik, mencetak murid yang lebih pintar dari gurunya… hehe…)

Terpaksa karimun itu kami parkir di pinggang bukit, sedikit lagi naik tanjakan kita sebenarnya bisa sampai di bubung tower dan setelahnya bisa menuju ke ladang made ratih di bubung batu barak, namun setelah dua kali percobaan dan memaksa menggunakan rem tangan saat aku harus turun bukit dengan memundurkan kendaraan. Tak akan aku coba lagi. Cukup. aku nggak mau mengambil resiko apapun untuk mobil ini. Dan bukannya kita juga biasa jalan kaki, mobil ini membuat kita malas…

Dan hujan deras tiba-tiba turun. Anak-anak berhamburan keluar mobil. “Loncat, berlari, dan kalian semua tunggu kami di 'pos' (bangunan kecil) milik subak abian sari karya ya…” Aku berikan mereka satu X-banner Anak Alam untuk digunakan sebagai payung, setidaknya kepala mereka tak kena air. Sementara aku, naomi, kerani, made kamin, dan satu anak lagi tetap tinggal di mobil.

Menunggu hujan reda, seperti pekerjaan-pekerjaan menunggu yang lain, adalah pekerjaan yang membosankan. Dan hujan inipun tak bisa kita prediksikan kapan akan berhentinya. Kerani memberi kami penghiburan. Ia membacakan kami puisi cinta. Ia ambil buku puisi yang ada di tasku. Suaranya sangat sumbang, namun kami senang. Ia terus membacakan puisi, hingga kupingku sudah tak lagi tahan.

Aku mencari akal, aku suruh saja ia mengambil pena dan lebih baik menulis cerita tentang hobinya memelihara ayam, setidaknya agar ia berhenti berisik.

Selang satu jam, hujan mulai mereda, tinggal sedikit rintik-rintik. Made ratih datang turun menjemput kami dan meminta korek kepadaku. Ah, inilah salah satu kekurangan kalau nggak ngerokok, nggak bawa korek. “kak putu nggak punya korek…”

Segera kami semua mengunci mobil, mengeluarkan tas dan kamera. Semua berlari ke ‘pos’ untuk sejenak rehat, menunggu hujan benar-benar berhenti. Syukurnya, di bawah pos itu, Jero Mangku tinggal dan kebetulan juga ia terlihat sedang menyabit rumput di ladangnya dalam gerimis kecil. Kami memanggilnya dan meminta korek kepadanya.

Kebetulan yang lain, pohon nangka yang ada di ladangnya sedang berbuah lebat, dan kerani dan beberapa anak lain berinisiatif mencari makanan pengganjal perut buat kami, makanan pokokku beberapa minggu ini di belandingan, buah nangka.

Mereka dapat yang cukup besar. Kami benar-benar berpesta dan bersulang.
Jero mangku membawakan kami korek, dan kami gunakan bilah-bilah bambu yang ada di ‘pos’ itu sebagai umpan api unggun.


Berhasil!

Oke, sekarang mari berpesta nak. Pesta itu kami mabuk buah nangka dan biji nangka itu kami bakar dan kami makan. (belum pernah nyoba kan,… gurih banget.)

Sementara waktu berlalu, dan sore menjelang. Naomi harus segera pulang. Tak seru juga jika harus ketinggalan pesawat untuk kembali ke Jakarta.

Terimakasih telah menemani anak-anak ini beberapa hari.

Dalam setiap cinta yang kau beri, ada seribu tangan terbuka untuk menerimanya.

Salam anak alam,




love
pande
belandingan, 29 jan 2010

mentari menunggu bersinar esok pagi...

No comments:

Post a Comment